Namaku Alam, lengkapnya Fatsalat Hanan
Alamsyah, aku kelas sebelas tepatnya Mipa 1. Satu minggu lagi aku akan pergi ke
Lombok, study tours sekolah. Aku sudah tidak lagi pusing memikirkan
berapa uang saku yang akan aku bawa,
karena aku sudah memiliki tabungan, dari usahaku sendiri yaitu
menerima order doodle.
***
Aku mengenal doodle sejak kelas delapan. Aku melihat
postingan gambar teman SD yang waktu itu sekolah diluar kota. Aku bertanya
padanya itu gambar apa, dia hanya menjawab doodle. Aku iseng-iseng mencari doodle di internet, aku menyimpan di handphone,
mulai dari artinya, cara membuat, alat dan bahan, sampai contoh gambarnya. Dari
sinilah semuanya berawal. Aku iseng membuat di halaman tengah
buku pelajaran saat
jam pelajaran, apapun itu. Alatnya hanya pencil,
pulpen, spidol kertas,
drawing pen jika punya, dan penghapus. Pokoknya alatnya anak sekolah. Tidak terlalu lama mempelajari dasarnya karena aku mau.
Saat aku kelas sembilan, ada temanku yang minta dibuatkan
doodle untuk ucapan ulang tahun temannya. "Lam tolong buatkan aku
doodle ulang tahun untuk temanku ya." Pintanya. "Ah...
Doodle-ku belum bagus." Jawabku. “
Alah.. Kamu kan juara tiga doodle Kabupaten, masa tidak bagus,
bohong banget." Elaknya. "Jangan di ungkit-ungkit lagi." Jawabku. “ Nanti
aku ganti kertas sama alatnya, pakai uang." "Tapi aku nggak percaya
diri." Aku masih mengelak. "Sayang banget, punya bakat disia-siakan. Kalau aku
sudah menerima pesanan dari dulu, lumayan buat tambahan jajan." Setelah kupikir-pikir ada benarnya
juga omongan temanku itu dan akhirnya aku terima. "Iya deh, aku mau. Tapi harganya berapa?"
Tanyaku.“ Terserah kamu aja."
Itulah pertama kalinya aku mendapat dan menerima order. Aku mematok harga mulai dari 10.000. Tergantung
dari tingkat kesulitannya, rumitnya, diwarnai atau tidak, dan jenis pewarnanya.
Aku mempromosikan lewat sosial media, acara sekolah, atau lewat temanku yang
suka rela tanpa aku suruh. Hasil satu bulan pertama mencapai 100.000. Aku
mentraktir temanku yang sudah promosi tanpa aku suruh di tukang bakso depan
sekolah. Orang yang memesan melihat contoh gambar di beberapa sosial mediaku
dan memilih model yang diinginkan, atau bisa juga gabungan bbeberapa model. Ketika sudah selesai aku foto dan kukirim
gambarnya, jika cocok aku kirim lewat jasa pengiriman (jika sampai luar kota),
jika satu sekolah aku berikan di sekolah, kalau di luar sekolah, aku antar ke
rumahnya jika aku tau.
Saat akhir Agustus kelas sebelas, aku diberi tau bahwa
akan diadakan study tours ke Lombok yang akan diadakan pada pertengahan
semester dua. "Yah, ini ada pemberitahuan study tours ke Lombok,
aku boleh ikut nggak yah?" Tanyaku. Aku memberi tau hanya kepada
ayah karena ibuku sudah kembali ke Yang Maha Kuasa. "Bayar
berapa sih?" Tanyanya. "Belum tau yah, ini baru persetujuan orang tua."
Jawabku. Ayah membaca suratnya. "Kalau setuju lingkari
disini, terus tanda tangan." Kataku sambil menunjukkan tempat tanda
tangan. "Temanmu yang ikut banyak nggak?" Tanyanya lagi. "Banyak
yah." Jawabku. "Kalau temanmu banyak yang ikut, kamu ikut saja,
kalau sedikit terserah kamu. Ayah insya Allah bisa bayar ongkosnya. Ayah tanda
tangan, yang ngisi Alam ya." Perintahnya.
Ini hari Senin, aku berangkat sekolah agak pagi, karena
upacara. Aku pamit pada ayah, lalu berangkat. Sesampainya di sekolah, jam sudah
menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Aku cepat-cepat ke kelasku yang
paling ujung, sedangkan siswa yang lain sudah berbondong-bondong ke lapangan
upacara. Aku meletakkan tasku sembarangan, yang penting sudah masuk kelas. Aku
bergegas menyusul yang lain. Aku baris di bagian tengah, supaya tidak kelihatan
jelas dari depan maupun belakang. Upacara telah selesai, kamu menuju kelas
masing-masing. "Alam, kapan kita mengantar order lagi?"
Tanya Ilyas, kawanku. "Sabar dong, aku lagi sibuk, masih pada setengah
jadi. Memangnya kamu mau apa lagi, minta makan lagi?" Tanyaku. "Nggak
Lam, kan biasanya cepat." Jawabnya. "Huh." Aku memukul
pundaknya, dan meninggalkannya.
Istirahat pertama tiba, aku menyelesaikan tugas yang baru
diberikan oleh guru. "Surat persetujuannya Lam." Panji, ketua kelasku
meminta. "Kamu ikut nggak?" Tanyaku. "Ikut,
kamu ikut nggak?" Tanyanya balik. "Belum tau nih, banyak
yang ikut nggak?" Tanyaku lagi. "Lumayan ada setengahnya
lebih." Jawabnya sambil melihat-lihat surat persetujuan. "Ilyas
ikut nggak?" Tanyaku. "E.. Belum mengumpulkan." Jawabnya. "Dimana
yah dia menyimpannya." Kataku sambil mengobrak-abrik tasnya. "Hey
hey.. Kamu ngapain Lam, mengobrak-abrik tasku." Tanyanya panik. "Santai
santai... Cuma mau cari surat persetujuan kok. Kamu ikut nggak?" Tanyaku. “Ikut.
Nih.." Jawabnya seraya memperhatikan surat persetujuannya dari saku. "Sini
kumpulkan." Pinta Panji. "Ini." Ilyas memberikan pada Panji. "Punyamu
mana Lam?" Tanya Ilyas. "Sabar-sabar. Aku isi dulu." Jawabku sambil
mengisi.
Jam istirahat telah berakhir. Kami sudah siap di kelas. "Lam,
pesananku mana?" Tanya Tasya, teman sekelasku yang memesan. "Belum
jadi, baru setengah. Lagian kamu juga belum bayar dpnya." Jawabku. "Berapa
sih?" Tanyanya. "Huu... Gimana sih. Totalnya 30.000." Jawabku. "Kok
30.000 sih. Panji juga 20.000." Elaknya. "Kan punya Panji satu
model." Bantahku. "Iya iya. Terserah kamu aja deh."
Aku sudah sampai di rumah, pukul dua siang. Aku ganti
baju, lalu makan. "Assalamualaikum, Alam." Seseorang datang ke
rumahku."Waalaikumsalam." Jawabku sembari menuju pintu depan untuk
membukanya. "Hey... Ilyas. Sini masuk." Ajakku. Ilyas
masuk. Dia duduk di kursi depan televisi. "Ayahmu belum pulang
apa?" Tanyanya. "Iya, belum. Kayaknya lagi ramai tokonya." Jawabku
sambil meneruskan makan. "Karyawannya kemana?" Tanyanya lagi. "Ya
disana." Jawabku. "Aku pinjam ps-mu ya. Kamu makannya lama
banget." Katanya meminta ijin. "Yuk ke kamar."
Ajakku.
Ilyas melihat-lihat order doodle-ku. Aku mengerjakan punya
temanku dulu, yang tidak pakai pewarna, hitam putih saja. Sekalian aku
selesaikan yang lain, yang hitam putih. "Ini kok belum Lam? Yang
berwarna." Tanyanya. "Hey jangan buat mainan. Ini uang tau." Kataku
sambil berebut darinya. "Ah kamu, jangan emosi, aku cuma tanya, tidak lebih
dari itu." Elaknya. "Yang diwarnai itu sekalian banyak, supaya pewarnanya
irit." Aku menjelaskan. "Irit apa pelit." Godanya. "Irit!"
Kataku sambil mendorong wajahnya.
Ilyas sudah pulang, karena magrib sudah lewat. Aku sudah
menyelesaikan order doodle hitam putih. Aku membaca Al-Qur'an bersama ayah dan
kakakku, Tyas namanya. Setelah itu kami makan malam dengan lauk yang telah ayah
beli. "Mau kemana? Tumben kamu makannya sedikit, ini masih
banyak, nanti nggak habis makanannya." Kata ayah. "Nanti
saja, masih banyak order." Kataku sambil berdiri, hendak pergi ke kamar. "Sini
dulu Lam, duduk. Kamu jangan hanya mengerjakan order,
belajar!" Bentaknya. Aku duduk mendengarkannya. Aku diam, daripada menyulut
emosi ayah. Dari sorot matanya, ayah sedang capek, mungkin ada sedikit masalah
di toko. "Sana kamu belajar, jangan dikunci pintunya."
Perintahnya. "Iya ayah." Jawabku sembari berdiri untuk
meninggalkan meja makan.
Aku sudah selesai belajar. Aku mengambil air wudhu untuk
sholat isya bersama ayah. "Aku boleh mengerjakan order yah?" Tanyaku. "Sudah
belajar belum?" Tanya ayah. "Sudah yah."
Jawabku. "Boleh, tapi jangan sampai malam. Jam sembilan tidur,
nanti ayah cek." Perintahnya. "Siap yah." Aku
berlari ke kamar.
" Tok tok tok." Pintu kamarku diketuk. "Masuk
saja, tidak dikunci kok." Jawabku sambil meneruskan pekerjaanku. “Belum
selesai apa Lam?" Tanya kakakku. "Ini tinggal yang pakai
pewarna. Memangnya kenapa?" Tanyaku. "Itu temanku mau
mengambil order. Sudah belum?" Tanyanya. "Cari namanya?"
Perintahku sambil memberi buku daftar. "Yang ini."
Jawabnya sambil memberikan bukuku. "Kesini saja, suruh
masuk, kalau ada komplain biar langsung." Perintahku. Alhamdulillah...
Sudah larut malam masih dapat rezeki, 30.000. Bisa buat traktir Ilyas.
Ini sudah seminggu sejak pemberitahuan study tours,
tepatnya hari Jumat. "Lam, gimana nih? Nanti jadi mengantar order
nggak?" Tanya Ilyas. "Iya, jadi jadi." Kamu ke rumahku dulu ya,
biasa, jam setengah dua. Tenang, nanti kita makan, uang bensinnya aku
ganti." Perintahku.
Aku menyiapkan order. Siap-siap muter-muter kotaku.
Kesibukanku hari Jumat, mengantar order bersama Ilyas. "Siap
belum Lam." Ilyas masuk kamarku tanpa permisi. "Tinggal
ganti baju Yas." Jawabku.
Kami sudah mengantar lima pelanggan, ini pelanggan yang ke
enam. "Lho mas, kok jadinya kayak gini, bukan kayak yang
saya pesan. Saya nggak mau." Seorang pelanggan marah padaku. "Kan mbaknya
yang minta kayak gini, sudah saya kirim gambarnya loh." Aku menahan emosi. "Saya
nggak mau tau, pokoknya saya nggak mau terima." Katanya. "Beneran
nggak mau terima nih? Potong 10% nih." Godaku. "Mana."
Katanya. "Nih." Kuberikan padanya dan dia memberi uang
padaku. "Rugi Yas." Kataku setelah keluar dari area
rumahnya.
Tak terasa, sudah akhir Oktober. Serasa begitu cepat
bagiku yang sok sibuk ini. Weekend selalu jalan-jalan, bersama Ilyas, dan
hari-hariku kuhabiskan untuk hobiku, terima order doodle. Inilah duniaku.
Mungkin bagi mereka yang belum terbiasa akan sangat berat untuk dijadikan
rutinitas. Senin sampai Jumat, sekolah sampai jam tiga sore, Jumat sampai jam
sebelas siang. Sepulang sekolah aku membersihkan diri, makan, istirahat
sebentar sambil membuka komentar pelanggan atau mengirim foto pesanan mereka.
Setelah sholat maghrib aku belajar. Setelah
sholat isya, aku mengerjakan order sampai aku mengantuk. Kebetulan malam sudah
larut, aku belum tidur juga. Aku masih terjaga untuk mencoret-coret kertasku.
Sesekali aku membalas pesan dari teman atau pelanggan. Dan entah kenapa? Aku
berpikir jika doodle di kaos akan lebih menarik. Ide itu entah datang dari
mana.
"Bangun Lam, sudah siang. Nanti telat." Ayah
membangunkanku. Sontak aku bangun dan mandi, sarapan, dan ke sekolah
bersama kakakku, karena motorku sedang sakit. "Kalau aku tidak sms apa
telepon, berarti jangan dijemput." Kataku pada kakakku yang sudah jalan ke
kampusnya.
"Aku ikut kamu ya, pulangnya. Yas yang ada kaos murah
sih dimana?" Tanyaku pada Ilyas pada jam pelajaran terakhir. "Buat
apa?" Tanyanya."Kamu tidak perlu tau. Nanti temani aku beli.
Oke." Jawabku.
Aku sudah keluar masuk tiga toko,
namun kaos yang aku inginkan belum kudapatkan. Aku tetap mengajak Ilyas mencari
sampai dapat. Aku masuk ke toko yang ke enam, aku memilih kaos putih polos yang
murah dan bahannya cocok untuk digambar dan dicat. Setelah aku memutar-mutar toko
dua kali aku baru mendapat kaos yang sesuai. Aku menawar harga pada penjaga
toko itu. Aku bersikeras mendapat kaos itu dengan harga yang semurah-murahnya,
serasa jadi ibu-ibu. Hehehe. Kami bergegas ke toko seni untuk membeli cat kaos.
Untuk yang ini tidak bisa ditawar lagi. Ilyas agak kesal karena aku banyak
maunya.
Akhirnya sampai rumah juga. Kaos sudah di tangan, tinggal
eksperimen, upload, banyak yang minat. Hahaha. Pikiranku melayang-layang. Setelah aku berkhayal, aku mulai
mengambar sketsa di koas itu tipis-tipis supaya sketsanya tidak kelihatan
ketika diwarnai. Setelah itu, aku mengencerkan pewarna dan kugoreskan ke kaos
itu. Doodle di kaos pertamaku nicknya ‘Alam’. Namaku sendiri.
Pagi harinya, aku berangkat sekolah dianter ayah. "Biasa.
Jemput jam tiga. Kalau belum disini aku kabur." Kataku.
Aku masuk kelas. "Gimana projek barumu Lam?" Tanya Panji. "Kamu
sudah lihat upload doodle terbaruku ya. Hahaha." Tanyaku. "Iyalah,
kan aku pendukungmu. Aku mau sih. Berapaan tuh." Tanyanya. "Belum
tau nih, belum kuhitung modalnya, jadi belum bisa matok harga. Paling
besok." Jawabku. "Aku order sekarang saja. Biar jadi pelanggan
pertama. Nick-nya nanti aku tulis, kukasih pulang sekolah biar kamu nggak
lupa." Katanya. 'Alhamdulillah, baru berangkat rezeki sudah menghampiri,
senang sekali rasanya, model baru.' Batinku.
"90.000 harganya, masih promosi. Insya Allah jadinya
weekend. Aku bawa Senin." Kataku pada Panji keesokan harinya. 'Heeehh..
Aku sudah bisa dapat uang sendiri, aku akan coba kumpulkan untuk uang saku study
tours ke Lombok. Yang dulu-dulu juga ada kayaknya, buat
aku kuliah saja. Yang baru-baru, buat study tours.' Pikirku dan niatku.
Bulan-bulan berikutnya aku masih menerima order, baik di
kertas maupun di kaos.
Ordernya juga semakin banyak. Ayah selalu mendukung,
sesekali ayah mengajak kerjasama, namun aku belum mau. Aku belum mau berbagi hasil, kalau
dengan Ilyas sih nggak seberapa. Toh aku juga tidak kewalahan.
Suatu hari aku mendapat pesan dari seorang pelanggan. Isinya
kayak gini, hai Alam kok ordernya belum sampai, ini sudah telat satu minggu,
uangnya sudah saya kirim lho. Dia protes. Akhirnya aku harus ganti rugi, aku
membuat ulang. Rugi rugi, saat itu harganya sudah 100.000 tidak
kecil untukku. Tapi
aku sudah mengirimnya. Aku tidak mau memperpanjang masalah ini, mungkin ini
bukan rezekiku.
Dua bulan sebelum study tours, order masih lancar. Hasilnya pun lumayan, tidak aku sebutkan karena aku tidak sombong, yang jelas
bisa buat pulang pergi Lombok sama uang sakunya untuk dua orang. Bisnis yang
keren kan. Aku yakin kamu pasti ingin. Walaupun aku sudah bisa dapat uang
sendiri, tetapi ayah tetap membayarkan untuk ke Lombok dan bersedia memberi
uang saku, entah berapa itu. Ayah juga tidak pernah absen memberi uang saku
setiap minggu. Walaupun sudah lumayan, aku tetap terima order. Semakin hari semakin
banyak saja. Alhamdulillah aku bersyukur masih dipercaya. Karena aku
sering lembur, aku sakit selama tiga hari. Banyak pelanggan yang ribut minta
order-nya cepat dikirim, mereka tak percaya aku sakit dan mereka minta aku
memposting fotoku yang sedang sakit. Dengan bodohnya aku menuruti mereka,
akhirnya percaya. Saat itu aku mengalami kerugian yang lumayan, karena aku
mengirimnya telat. Alhamdulillah syukuri saja.
"Lam kamu sudah sembuh?" Tanya Ilyas. “Iya nih, sudah nggak
lemas." Jawabku sambil meletakkan tas. "Ada order yang mau
dikirim nggak?" Tanyanya. "Ahh... Aku rugi, pada telat." Kataku. "Hey
jangan seperti itu, Alam belum kembali ternyata." Katanya. "Apaan
sih. Belum jadi Yas, masih numpuk di kamarku." Jawabku kesal.
Sekarang Sabtu, ini jadwalku mengirimkan order. Aku sudah
membungkusnya dengan rapi, sekarang harganya lebih mahal sedikit, aku pun bisa memberi Ilyas lebih. Kali ini aku yang menjemput Ilyas, gantian
lah kasihan dia, aku kan punya hati juga. Ketika aku sampai
rumahnya dia belum mandi. Untungnya Ilyas cowok, coba saja kalau dia cewek
pasti aku akan menunggu satu jam.
Kami berangkat ke jasa pengiriman
dulu untuk yang diluar kota dan dilanjutkan putar-putar kotaku. kami sesekali
bertanya alamat pada orang di pinggir jalan.
Hari yang melelahkan, kami makan siang di sebuah rumah
makan, kurang satu yang belum diantar, tapi lapar. Kami utamakan kesehatan.
Betulkan. Iya.
Akhirnya sudah semua order aku antar, Ilyas ikut ke
rumahku, mau main ps bareng. Sesekali refreshing.
Sebulan sebelum aku ke Lombok, aku sudah mengurangi
penerimaan order, aku lebih mementingkan kesehatanku supaya ketika aku ke
Lombok sehat. Itu peringatan ayah. Aku menerima order maksimal tujuh dalam
seminggu. Uang yang aku kumpulkan juga sudah lumayan banyak, tidak aku sebut
jumlahnya. Sekali lagi, aku tidak sombong.
Sekitar seminggu kemudian, aku
mendapat undangan untuk menghadiri festival doodle di Jakarta. Bagi yang belum
tau, festival doodle adalah sebuah festival para doodler yang menerima order
yang didatangkan dari seluruh penjuru
nusantara. Aku kaget ketika membaca undangan tersebut karena aku belum berharap
untuk mengikutinya. Saking tidak percayanya aku membuka halaman depannya
‘Kepada Sdr Fatsalat Hanan Alamsyah di tempat’. Ini bukan mimpi. Tiket
keretanya menyusul dan akan dijemput di stasiun menuju hotel.
Ini hari Minggu, aku berangkat untuk mengikuti festival
doodle (order doodle) di Jakarta yang mengundang seribu doodler dari seluruh penjuru
nusantara. Dari kotaku hanya aku yang diundang. Aku
berangkat sendiri, ongkos hidupnya pun dari pihak penyelenggara. Aku tidak mau
ditemani ayah. Aku berani. Disana aku mendapat berbagai pengalaman baru. Kami disana
membuat doodle namanya sendiri dan dikumpulkan. Kami juga ada acara di Ancol
dan aku banyak berfoto dengan peserta festival. Kami disana juga diberi
kesempatan memberikan inovasi doodle yang kami punya. Diadakan juga lomba
doodle. Tidak hanya seputaran doodle, kami melaksanakan beberapa game,
olahraga, talkshow, dan beberapa motivasi dari para motivator. Aku berkenalan
dengan doodler kelas dunia dan sempat foto bersama. Aku mendapat penghargaan doodler termuda waktu itu. Dan
juga pesangon, tak kusebut
karena aku tak sombong. Acara disana empat hari, aku ijin sekolah selama seminggu
karena aku baru pulang hari Jumat.
Pulang festival, paginya aku
mengantar order terakhir sebelum ke Lombok. Kali ini aku mengirim seorang diri. Aku memberikan sedikit hasilnya pada anak yatim di depan
panti asuhan.
***
" Lam, ayo kita belanja untuk persiapan ke
Lombok." Ilyas membuyarkan lamunanku. "Hah." Aku kaget.

1 Komentar
Gimana?
BalasHapus