27 purnama telah dilalui. Jejak-jejak kecil membekas di ujung jalan. Waktu yang berjalan tanpa terasa, emtah karena sangat menikmati atau rasa lain yang menyelimuti. Getar jiwa terasa di raga ini. Waktu pertama kali dijatuhkan dari sebelumnya yang selalu merasakan kenyamanan. Entah kenyamanan yang hakiki atau hanya terselimuti. Diri yang terlena pada nyamannya pandangan orang lain tanpa memandang diri yang sebenarnya. Diri yang sangat kurang memantaskan diri. Diri yang terbang di tengah angina tanpa ada tali action, sang pengendali.
Memori mengulur pada masa yang menguras emosi. Suka diliputi duka, sabar, putus asa, hampa, dan lainnya. Layaknya beras yng tumpah di jalan. Berhambur tak beraturan. Harap yang sirna bersama angina yang menerbangkan debu. Menyisakan isak dari insan yang tak tau diri. Sadar dan tidak sadar, melayang membersama asap sisa pembakaran sore itu. Sendiri, di koordinat yang tak asing, terdiam mengusap benda pipih yang memancarkan sinar khasnya. Melihat betapa indahnya kenyataan yang lain. Anak sungai tak terasa hadir di pipi hingga membuat terlelap dengan manik yang membengkak.
Berat, menopang harap yang telah sirna. Menyambut realita tanpa persiapan.
Seperti luka yang mongering karena pembelahan sel disertai kerja trombosit yang menggambarkan keadaan masa itu. Hari yang mulai bersinar tersirat harap baru yang mulai tumbuh. Evaluasi untuk berkembang membuat jalan yang lain. Perbaikan, memantaskan diri untuk menyambut yang baru. Malam demi malam terlewat dengan cepat. Konsisten yang berat tuk dimulai. Anggunya tarian pena pada kertas sebagai wujud nyata bahwa pernah berusaha.
Data yang terinput dengan apik pada sistem. Tanda mulainya pembuktian dari malam yan telah diusahakan. Mental, jiwa, serta ragaberkoordinasi menyiapkan segala kemungkinan. Menghubungi Tuhan tuk andil di dalamnya.
Deru mobil dan motor, gesek antar lempeng besi, hiruk pikuk bandara, ataupun asap dari cerebung asap menggeser pada koordinat lainnya. Hitam putih, dua sisi yang mengisyaratkan hasil akhir berkerumun menggetar dalam kalbu. Akhirnya sampailah pada titik ini, titik yang belum sempat terjamah dahulu. Hati makin bergetar memandang barisan angka di kertas bersih menusuk nerta sebab teriknya mentari. Surya yang sedang bahagia menyinari diri yang tengah meniti aspal di koordibat itu. Lelah melakukan perpindahan yang membingungkan. Kering tenggorokan makin teraa. Lalu lalang yang dihiraukan.
Pagi itu terbungkus hitam dan putih. Terhenti oleh macatnya jalanan. Nama-nama dipanggil. Tut.. tut.. tut.. tanda tidak beres. Yang mengantar pada ruang penuh monitor. Masuk dengan tangan kosong hanya tersisa pakaian yang menempel. Detik demi detik berlalu. Poin menampakkan diri, menjatuhkan atau membangkitkan. Waktu berlalu. Langkah kecil keluar dengan berbagai ekspresi yang menggambarkan dalam ruang.
Sembilan kali dijatuhkan, kebal atau masih amatir. Yang dinanti telah meninggalkan. Ditinggalkan untuk ke sikian kalinya. Air mata yang sudah enggan menampakkan diri atau pura-pura kuat untuk menyokong jiwa yang hancur. Langkah cepat meninggalkan koordinat itu. Bergegas untuk yang di situ. Lelah, kecewa, pasrah, ingin menyerah bertengkat pada raga ini. Kuatkan mentalmu agar tetap bergerak maju.
Melewati masa itu, diri makin mengerti. Semua harus seimbang. Tuhan yang maha segalanya. Mengubah dan menjadikan apa yang hamba-Nya minta. Jikalau diri ini tidak Kau jatuhkan, apakah yang saat ini sedang dilakukan? Berkoar-koar tanpa isi atau berlecimpung membbersama di sudut kota.
Terima kasih Tuhan, Engkau telah menjatuhkan waktu itu. Awalnya diri ini tidak menerimanya. Tapi perlahan menjadi tau jika semua butuh proses, usaha, perjuangan, dan pengorbanan. Kini sedikit mengerti bagaimana rasanya jatuh dan harus bangkit tuk meneruskan perjalanan. Angka satu bisa diperoleh tidak hanya dengan satu cara, namun dengan berbagai cara sesuai gayamu. Pun mimpi, banyak jalan yang dapat ditempuh untuk mengambilnya.
Jikalau Kau tidak menjatuhkan waktu itu, mungkin tidak ingat pada-Mu. Tapi Kau masih memberi kesempatan untuk itu. Kini sedikit demi sedikit rasa pahit itu diusahakan lebur pada rasa manis yang sedang dibentuk.
Salam hangat dari penulis
PP Nurul Iman Pasir Wetan, 16 Agustus 2020

0 Komentar