Bicara
perkara pendidikan, rasanya tidak ada habisnya. Selama masih ada peradaban
manusia, pendidikan akan menjadi topik yang tidak hambar untuk diulik. Hal ini
senada dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Di
Indonesia sendiri, dunia pendidikan mengalami lika-liku hingga masih
direncanakan dan diupayakan hingga kini untuk mencapai titik terbaik. Mulai
dari sebelum Indonesia merdeka hingga kini menjadi tiga perempat abad lebih
masih saja ada yang perlu dibenahi.
Beberapa
tahun saya menjadi siswa dahulu, banyak hal yang menjadikan pendidikan merubah
kondisi saya. Saya menyukai sekolah sebab hal yang sederhana. Saya bisa bertemu
dengan teman setiap hari. Dan di sekolah saya bisa belajar dengan intens sesuai
dengan jadwal yang sudah ditetapkan. Setelah belajar dengan intens saya juga
merasa berkembang dalam pemahaman bahasa Indonesia serta memiliki ketertarikan
di bidang membaca dan menulis. Saya juga memiliki kesan ketika pembelajaran di
kelas pada mata pelajaran Matematika yang mana diintegrasikan dengan bernyanyi
sehingga lebih mudah menghafal dan memahami rumus. Saya juga diberi kesempatan
untuk mengajarkan materi baru di kelas lain.
Dari
sanalah saya memiliki keinginan sebagai guru, melatih public speaking dan
menyampaikan apa yang diketahui dengan bahasa sendiri. Selain itu saya juga
secara sadar bahwa saya memiliki ketertarikan di bidang pendidikan baik formal
maupun nomformal seperti yang sedang saya jalankan sekarang. Menjadikan bangsa
ini ke arah yang lebih baik merupakan tugas pendidikan yang mana bisa mencetak
generasi yang dipesan oleh negara. Untuk itu, kontribusi sebagai guru
professional sangat mendongkrak pemenuhan pesanan negara tersebut.
Maka dari
itu, saya perlu mempelajari filosofi pendidikan Indonesia agar tidak terlepas
dari dasar-dasar diselenggarakan pendidikan di Indonesia. Hal ini bertujuan
agar saya lebih luwes dengan perubahan yang ada sebab tujuan dari pendidikan
itu sendiri adalah memanusiakan manusia.
Agar
lebih jelas lagi, kita perlu berkaca pada pendidikan yang ada di Indonesia dari
beberapa space waktu. Mulai dari sebelum kemerdekaan, masa setelah kemerdekaan,
dan masa kini.
Sebelum
Indonesia merdeka, kolonial menguasai tanah air kita, Indonesia. Berbagai
catatan sejarah menuliskan kekejaman kolonial pada masa itu. Segala apa yang
ada di tanah air, direbut oleh mereka. Bukan hanya materi, namun hak atas
kemanusiaan pun diambilnya. Seperti pendidikan. Masa kolonial, pendidikan
menjadi hal yang mahal sekali di Indonesia. Pendidikan diserahkan pada pendeta
untuk mengajarkan baca, tulis dan hitung seperlunya saja untuk membantu usaha
pihak kolonial. Selain itu, pendidikan hanya diberikan kepada calon pegawai
kabupaten. Namun hal ini berbeda sekali dengan keturunan eropa yang bisa bebas
mendapatkan pendidikan. Diskriminasi antara keturunan Eropa dengan pribumi
begitu jelas adanya.
Seiring
berjalannya waktu, Sekolah Bumi Putera hadir namun hanya sampai tiga kelas saja
dan hanya ada di daerah tertentu saja, yakni Magelang, Solo, dan Bandung.
Usaha-usaha untuk pendidikan tidak tenggelam. Di tahun 1922, di Yogyakarta
terbentuklah Perguruan Tamansiswa yang kemudian melebar di Jawa, Sumatera,
Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Ki Hadjar Dewantara tidak patah asa
untuk menegakkan pendidikan di Indonesia. Hal ini karena politik dan pendidikan
seirama untuk melepas belenggu penjajahan. Banyak murid dari perguruan
Tamansiswa yang memberi manfaat pada urusan kenegaraan. Hal ini menjadi gerbang
emas bagi Indonesia untuk merdeka dan bebas dalam berbudaya dan berbangsa.
Ki Hadjar
Dewantara memberikan pengaruh besar pada dasar-dasar pendidikan di Indonesia.
Yang mana pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, dan
jasmani anak-anak agar mencapai kesempurnaan hidup dan penghidupan yang selaras
dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan tersebut harus diisi dengan ruh
kebangsaan sehingga antara masyarakat dan bangsa saling terintegrasi.
Gagasannya dalam tri pusat pendidikan yakni: keluarga, pendidikan sekolah, dan
pendidikan masyarakat menguatkan prinsip pendidikannya. Selain itu pancadharma
juga dicetuskan yakni kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan
kemanusiaan menunjukkan adanya hubungan yang harus dipenuhi agar tercipta
pendidikan yang apik. Guru beserta siswa juga harus menerapkan patrap guru.
Dari itu muncullah semboyan beliau yang yakni: Ing ngarsa sung tuladha; Ing
madya mangun karsa; Tut wuri handayani yang masih kita kenal sampai saat ini.
Kemerdekaan
akhirnya diraih pada 17 Agustus 1945. Pendidikan makin digencarkan di seluruh
tanah air. Pribumi perlahan bangkit dari keterpurukan ilmu pengetahuan.
Masyarakat bahu membahu menguatkan dan mendukung upaya perbaikan generasi
dengan pendidikan. Seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali dilindungi haknya
untuk memperoleh pendidikan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan 10% dari
APBN dilarikan ke pendidikan. Effort yang cukup besar seharusnya. Namun hal
tersebut tidak berjalan mulus. Di awal kemerdekaan, pendidikan tidak langsung
bisa didapatkan di seluruh Indonesia, belum bisa mencapai ke pelosok. Ketimpangan
pendidikan pun masih kentara sekali.
Usaha-usaha
yang dicanangkan pemerintah tak henti-hentinya dilakukan. Mulai dari penyusunan
kurikulum, penyebaran guru, pengadaan guru professional, serta bantuan-bantuan
lain ke pelosok negeri. Hingga kini, sejarah bisa mencatat perubahan-perubahan
yang ada di pendidikan baik dari aturan, kurikulum, serta fasilitas yang
diberikan.
Belenggu-belenggu
tidak begitu saja hilang dari Indonesia. Kemerdekaan untuk belajar masih saja
dibayangi dengan sistem dan kurikulum. Pembelajaran tidak interaktif dan
terpusat pada guru membuat peserta didik tidak sepenuhnya mengetahui potensi
dan belajar dari dirinya. Namun didikte oleh sistem yang ada.
Kini,
pemerintah sudah mengusahakan untuk mengikis ketimpangan tersebut melalui kurikulum
merdeka dan penguatan Profil Pelajar Pancasila. Di sini pendidikan terpusat
pada peserta didik serta tidak terpaku pada kuantitas, namun kualitas peserta
didik. Dengan itu peserta didik diharapkan dapat mengembangkan potensi yang
sudah ada dalam dirinya.
Pembelajaran
kini tidak memaksa dengan satu kriteria saja, namun berbagai hasil bisa
diterima dalam pendidikan. Sebab hakikatnya manusia, memiliki keunikan sebagai
individu. Hal ini pula yang dialami oleh peserta didik yang memiliki keunikan
masing-masing. Hal ini sejalan dengan konsep memanusiakan manusia. Pendidikan
tidak untuk mendikte, namun menuntun peserta didik untuk menemukan dan
mengembangkan potensi yang ada. Tidak memaksa dengan lingkungan namun
menyesuaikan potensi yang ada di lingkungan.
Dari
sejarah perjalanan pendidikan tersebut, sebagai calon guru sudah sepantasnya
saya menyadari sepenuhnya bahwa peserta didik merupakan individu yang unik.
Peserta didik diperlakukan sebagai individu yang mana antar satu dengan lainnya
tidak sama. Sehingga dalam pembelajaran nantinya tidak terpaku pada satu proses
atau cara saja. Tetapi menerima berbagai cara yang peserta didik hendaki.
Sehingga terpenuhilah hak peserta didik untuk memperoleh kemerdekaan
mendapatkan pendidikan. Hal ini didukung dengan kurikulum saat ini dengan tajuk
merdeka. Yang mana konsep dari kurikulum ini menuntun peserta didik untuk
memulai materi yang berkaca pada diri sendiri dan menghasilkan sesuatu sesuai
yang dikehendaki namun secara esensi tidak meninggalkan apa tujuan dari
pembelajaran tersebut.
Selain
itu, kelas juga terfokus pada peserta didik. Jadi peserta didik tidak lagi
didikte tetapi dituntun untuk menemukan makna dari pembelajaran berdasarkan
minat masing-masing. Jadi, kelas tidak monoton dan saklek dengan satu putusan
saja. Fleksibel. Dengan menyesuaikan peserta didik diharapkan dapat menjadikan
pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik.
Saya akan bertolak dari pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara yang mana pendidikan itu memanusiakan manusia. Hal ini diikuti dengan dukungan dari sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat yang bahu membahu mendorong peserta didik untuk bertingkah sesuai dengan ajaran moral Ki Hadjar Dewantar. Yakni "ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani". Dengan itu pendidikan tidak hanya mengasah intelektual semata namun mengasah emosional, sosial, dan juga moral.
Harapan dari cara tersebut, peserta didik tidak lagi terbelenggu oleh sistem yang ditentukan pemerintah. Sehingga kemerdekaan akan pendidikan diperoleh dengan paripurna.

0 Komentar